Selasa, 30 Oktober 2007

Tikus-tikus Korporat

Tikus-tikus (kondisi-kondisi negatif) korporat itu antara lain :
  1. Atasan pilih kasih : Pilih kasih berarti menjadikan seseorang menjadi anak emas tanpa rasionalitas.
  2. Bila salah dikritik Bila benar tak ada pujian : Ini adalah bentuk lain ketidak-adilan, orang yang mengalaminya merasa terluka perasaannya dan sedih hatinya.
  3. Hak-hak dicabut tanpa alasan : Hak-hak karyawan jika ditiadakan tanpa alasan yang kuat terasa sangat menyakitkan. Jika dipaksakan akan menimbulkan perlawanan dan jika tidak sanggup dilawan, akan dibalas dengan hati tawar dan pahit. Padahal difihak lain, orang sebenarnya bersedia menderita bersama asal mereka faham dalam rangka apa mereka menderita. Jadi persoalannya bukan pada penderitaan itu sendiri, tetapi pada why should I suffer ?
  4. Informasi disembunyikan (tidak transparan) : Kenyataan seperti ini berarti ada fihak yang tidak dipercayai. Dan jika orang merasa tidak dipercayai, timbulah dugaan logis bahwa ada kejahatan yang sedang berlangsung diam-diam. Juga perasaan bahwa dirinya disepelekan, perasaan ini membuat orang kehilangan semangat dan antusiasme.
  5. Keahlian tidak digunakan : Secara umum orang merasa senang jika dirinya berguna. Jadi jika orang merasa keahliannya tidak dimanfaatkan oleh organisasi, dia merasa dirinya kurang dihargai, dianggap tidak berguna.
  6. Kemampuan tidak dikembangkan : ibarat mesin, orang merasa dirinya dipakai terus sampai soak tanpa servis atau tune-up. Karyawan merasa dirinya diexploitasi tanpa apresiasi dan pengembangan. Mereka merasa „habis manis sepah bakal dibuang“. Maka biasanya orang begini sangat pelit pada perusahaan. Pokoknya bekerja dari jam 8 hingga 5 sore, habis perkara. Sumbangan pikiran dan lain-lain, maaf, tidak bersedia digratisin.
  7. Ketidak jelasan : Tiadanya visi dan misi organisasi yang genuine dan powerful, membuat organisasi tidak punya arah yang jelas. Ketidak jelasan ini membuat hilangnya sense of excitement dan sense of purpose. Akibat lainnya, orang bekerja seadanya, secukupnya, atau alakadarnya saja.
  8. Kiri kanan atas bawah munafik semua : Munafik adalah untrue to oneself. Padahal organisasi adalah „kita sebagai kesatuan“. Jadi jika ada kemunafikan sebenarnya kita sedang saling membohongi. Dan kita tahu bahwa kita saling membohongi. Maka tidak akan tercipta teamwork apalagi sinergi. Dalam iklim kemunafikan, jika tidak terpengaruh dan larut, orang akan melakukan dekomitmen terhadap organisasi.
  9. Masa depan karir tidak jelas : Banyak karyawan merasa bahwa masa depan mereka tidak jelas. Perusahaan mau kemanapun tidak jelas, Jadi no hope for the future.
  10. 10. Pekerjaan yang monoton : Banyak karyawan merasa pekerjaannya monoton dari hari ke hari. Malah ada orang merasa sudah terkotakkan. Dalam kondisi demikian orang hanya akan bekerja sebagai upaya bertahan saja sekedar demi gaji bulanan dan status non pengangguran.
  11. Penyakit KKN : Praktik KKN yang telah menjadi rahasia umum dalam organisasi membuat warga tidak termotivasi untuk bekerja melampaui mediokritas, terutama jika mereka tidak termasuk dalam grup yang diuntungkan KKN tersebut.
  12. Penyakit sikut menyikut : Jika dalam organisasi yang berlaku adalah nilai-nilai rimba, maka orang yang tidak berbakat atau tidak bersedia menjadi ular dan serigala segera akan keluar. Jika bertahan maka ia akan terpinggirkan atau menjadi pecundang. Jelas cita-cita menjadi world class company hanya sebuah slogan kosong.
  13. Peraturan yang irasional : Peraturan selalu dibuat oleh para pimpinan. Namun seringkali peraturan dibuat sebagai reaksi atas sebuah kasus khusus. Akibatnya peraturan ini terasa irasional dalam situasi yang berbeda dengan kasus pemicunya. Lanjutannya orang jadi marah, kesal dan malas.
  14. Perubahan tanpa tujuan yang jelas : Adagium tak ada yang konstan kecuali perubahan itu sendiri disalah mengertikan menjadi perubahan demi perubahan. Padahal ditengah perubahan orang butuh kepastian arah, kepastian nilai-nilai, dan kepastian makna. Tanpa itu maka segala sesuatu menjadi chaos, absurd, dan meaningless.
  15. Pimpinan tidak jujur : Bawahan yang tahu bahwa pimpinannya tidak jujur sebenarnya menghilangkan trust level dalam tata hubungan mereka. Padahal dimana tidak ada rasa saling percaya, tidak mungkin ada komitmen. Dan tanpa komitmen besar tidak ada prestasi besar bisa dicapai.
  16. Rapat-rapat tidak ada tindak lanjutnya : Dalam rapat-rapat para eksekutif suka cerita besar, ngomong angin surga, mau bikin ini mau bikin itu. Habis rapat things as usual. Lama-lama orang jadi sinis. Datang ke rapat pun malas. Ngapain ? Buang waktu ! Apalagi rapatnya tanpa honor dan konsumsi. Males ah!
  17. Saya harus disiplin tapi atasan tidak : Secara moral atasan adalah teladan. Artinya hanya jika orang sudah melakukan apa yang diperintahkannya maka ia qualified memerintah. Atasan yang meminta bawahan berdisiplin tanpa ia sendiri berdisiplin akan menjadi bahan tertawaan. Secara moral dia tidak berhak meminta apapun yang tidak dia lakukan lebih dahulu.
  18. Sedikit-sedikit kena marah : Orang yang dimarahi tanpa alasan yang masuk akal, apalagi marah cuma sebagai kegemaran atasan, merusak harga diri dan citra diri bawahan. Ketersinggungan yang diakibatkannya dapat berubah menjadi dendam, kebencian, dan keinginan untuk merusak. Jadi boro-boro excellence.
  19. Sistem tidak adil : Ketidak adilan dalam segala bentuk, entah sistem penggajian atau pemanfaatan fasilitas, pasti mengundang respons negatif. Jika ketidak adilan tidak bisa dilawan secara frontal, maka orang melawannya diam-diam dalam berbagai bentuk seperti mangkir dengan alasan dibuat-buat, kinerja asal jadi, perlawanan simbolik dan lain-lain.
  20. Usul tidak diperhatikan : Usul-usul yang tidak diperhatikan menimbulkan kekecewaan. Lama-lama orang merasa tidak ada gunanya mengajukan usul. Padahal jika no participation, pasti no sense of ownership, demikian pula no commitment.

Source : Jansen Sinamo (Pembelajar.com)

Cina, Caina atau Caines? Sebut Saja Tionghua

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman, orang Indonesia yang tinggal di Singapura bercerita tentang orang-orang Malaysia dan orang-orang melayu di Singapura yang melecehkan orang-orang Indonesia dari suku selain Tionghua dengan sebutan Indon. Dia seorang Jawa dan merasa kesal sekali setiap kali disebut Indon. Saya lalu bertanya, apa arti kata Indon padanya. Dia bilang, Indon adalah singkatan dari Indonesia. Lalu saya bertanya, bukankah dia, walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Singapura, namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia, lalu, kenapa harus merasa sakit hati ketika dipanggil Indon, singkatan dari Indonesia? Walaupun teman itu lalu menjelaskan dengan panjang lebar alasan dia merasa sakit hati ketika disebut Indon, namun saya pura-pura tidak memahaminya hingga teman itu berkata, betapa dia sekarang paham kenapa orang-orang cina merasa sakit hati ketika disebut cina.

Saya ingat, waktu SMA dulu, saya memaki salah seorang teman saya, seorang Jawa dengan kalimat “Cina lu!” Akibat makian itu, kami lalu berkelahi dan harus menghadap kepala sekolah. Saat itu, kepala sekolah bertanya, kenapa saya memaki teman saya cina sedangkan saya tahu dia adalah orang Jawa? “Pak, orang jawa saja marah ketika disebut cina, apalagi orang cina? Bukankah sudah saatnya sekolah mengkampanyekan penggunakan sebutan lain yang tidak menyakiti bagi orang-orang cina, misalnya dengan sebutan Tionghua?”

Di kalangan orang-orang Tionghua, banyak yang menyebut orang-orang Jawa, Sunda, Batak, Makasar, Madura dengan sebutan pribumi atau orang Indonesia. Herannya, banyak sekali teman-teman yang gembar-gembor membanggakan dirinya adalah pribumi, marah besar ketika disebut sebagai pribumi atau Indonesia oleh orang-orang Tionghua.

Kenapa orang Tionghua marah ketika disebut cina?

Sebuah teori menyatakan, bahwa orang-orang Tionghua marah ketika disebut cina, karena sebutan itu pertama kali digunakan oleh orang-orang Jepang untuk melecehkan bangsa Tiongkok. Tiongkok artinya negara tengah, sedangkan cina dalam bahasa Jepang berarti orang pinggiran atau wong ndeso.

Apakah teori tersebut benar? Mungkin ada kebenaran dalam teori tersebut, namun silahkan bertanya kepada orang-orang Tionghua yang anda kenal, saya jamin, anda akan heran sendiri, karena hampir semua orang Tionghua yang anda kenal tidak mengetahui teori tersebut sama sekali.

Kenapa orang Eropah menyebut bangsa Tiongkok dengan sebutan China dan menyebut orang Tionghua dengan chinese?

Teori yang paling populer menyatakan, bahwa pada saat bangsa Eropah mengenal bangsa Tiongkok, saat itu Tiongkok ada di bawah kekuasaan dinasti chin (qin) (221-206 SM). di bawah kaisar Qin Shi Huang Di yang berkuasa.

Kenapa orang Tionghua Indonesia marah ketika disebut cina, namun lega lilo (tidak keberatan) ketika disebut caina atau cines?

Saya belum pernah melakukan penelitian atas hal itu dan belum pernah membaca teori tentang hal itu. Jadi ini kesempatan bagi anda-anda yang hendak melakukan penelitian dan menulis tesis.

Kenapa orang Tionghua Indonesia menyebut dirinya Tionghua dan menuntut orang lain menyebut dirinya Tionghua?

Karena mereka merasa nyaman ketika disebut Tionghua.

Kenapa orang Sunda tidak mau disebut orang Jawa, padahal mereka tinggal di Jawa Barat?

Karena mereka memahami Jawa sebagai orang Jawa tengah dan Jawa Timur.

Bagaimana dengan mereka yang disebut Jawareh, jawa sawareh (jawa sebagian)?

Sebagian Jawareh tinggal di propinsi Banten, sebagian lainnya tinggal di Cirebon. Mereka menolak disebut orang Jawa, walaupun bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa Sunda.

Anda tahu, kebanyakan pastur keturunan Eropah yang ada di pulau Jawa merasa lebih nyaman dipanggil Romo dan menolak dipanggil Pastor. Saya pernah bertanya kepada belasan Romo demikian, kenapa bisa begitu? Mereka bilang, ketika dipanggil Romo, mereka merasa nyaman, namun ketika dipanggil pastor mereka marasa sebagai orang asing.

Waktu muda dulu, saya sering berkelahi gara-gara memaki temanku, “Batak lu, Ambon lu, Jawa lu, Melayu lu, Padang Lu, cina lu!” Namun teman-teman yang kumaki, “Irian lu, bengkulu lu, Lampung lu, Madura Lu, Makasar lu, Palembang Lu, Nias Lu, Dayak Lu, Sunda lu, Betawi lu, Key lu, jawareh lu!” selain tidak marah, mereka juga menganggapku orang gila.

Ketika ditanya “kamu orang apa?” dengan senang hati saya akan menjawab “Saya orang Hokian!” Selanjutnya, terserah anda mau menyebut saya orang cina atau orang caina atau orang cines. Namun bila ditanya, dengan apa aku akan disebut, orang cina, caine, cines atau tionghua? Maka aku akan memilih disebut tionghua, karena kebanyakan teman-temanku suka disebut tionghua.

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman bertanya kepadaku, “apa yang akan terjadi kalau orang-orang Tionghua Indonesia memperjuangkan, agar pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melarang penyebutan cina?” Setelah memikirkannya beberapa saat, maka saya menjawab,

“Nampaknya hal itu akan mendapat tantangan dari pemerintah Republik Rakyat Cina dan para pedagang barang-barang dari China, karena biaya yang harus mereka tanggung terlalu mahal. Baik ditulis cina atau china, selama ini tetap saja disebut cina, bukan caina. Kalau semua barang Made in China harus disebut Made in Tiongkok, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetak label baru? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melatih para karyawan dan berapa iklan yang harus di pasang?”

Temanku itu bilang aku orang gila. Bahkan ketika aku menjelaskannya lebih lanjut.

“Coba lu bayangin, ada orang datang mau beli motor, dia tanya, mau beli mocin ada? Lalu dijawab, nggak ada mas, di sini khusus jual motor Tiongkok!”

Source : SABDA SPACE

Teater Ngampung di Kampung “Pinggiran"

Mempelajari teater bagi orang kampung “pinggiran” akan lebih mudah apabila diperoleh dengan pendidikan non formal. Karena dalam sistem pendidikan kita tidak banyak sekolah formal yang mengkhususkan diri di bidang teater, walaupun demikian hampir di setiap sekolah umum khususnya SMU sampai Perguruan Tinggi memiliki ekstra kurikuler teater. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah wadah itu sudah cukup menampung apresiasi teater bagi orang banyak? Apalagi bagi mereka yang tidak menempuh pendidikan formal/sekolah? Pertanyaan tersebut kiranya perlu dijawab oleh para penggerak teater yang selama ini terkesan eksklusif dan kurang tertarik dengan mereka yang tidak berada jalur formal.

Belajar dari Anak Wayang Indonesia (AWI) yang telah berkeliling ke beberapa negara atau Sanggar Anak Akar Jakarta (SAAJ) yang telah banyak mempresentasikan karyanya atau komunitas lain yang telah terlebih dulu maju, semua itu adalah hasil pendidikan non formal yang benar-benar nyata bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal.

Proses berteater dengan pola sanggar semacam AWI atau SAAJ merupakan sebuah proses panjang, karena tidak semua orang mau dan dapat melakukan pengorganisiran tersebut. Apalagi pesertanya anak-anak jalanan atau anak-anak kampung “pinggiran”. Proses ini memerlukan waktu dan berbagai siasat agar berjalan mulus tanpa mengganggu kehidupan “ngampung” mereka yang “labil” dan penuh dengan warna. Teater terkadang “provokatif” sehingga harus pandai-pandai membumikan, apabila teater mampu beradaptasi maka proses tersebut akan menjadi ritme yang menarik tentunya dapat menjadikan kehidupan kampung lebih seronok.

Sesungguhnya kalau kita memasuki kehidupan kampung “pinggiran” di Jogja seperti; Kricak, Sidomulyo, Badran atau Tungkak tidak ada yang dapat kita lakukan dengan teater karena kehidupan mereka sudah sangat teatrikal, “cobalah anda baca naskah-naskah Bambang Widoyo SP dalam “Gapit, 4 naskah drama berbahasa jawa” anda akan betul-betul menemukan teater yang sesungguhnya di kampung “pinggiran” tersebut. Sehingga diperlukan cara dan inisiatif bahkan siasat yang jitu untuk menjadikan kehidupan teater mereka yang sesungguhnya itu dapat dipolakan dalam panggung dan menjadi pertunjukan yang seolah-lah merepresentasikan kehidupan kampung.

Sesuai dengan latar belakang kehidupan kampung “pinggiran”, maka nuansa “kampungan” merupakan pola yang tepat untuk memulai proses. Gaya “kampungan” adalah gaya hidup yang fleksibel tidak dapat dipaksakan namun demikian dapat ditata secara bertahap. Belajar secara non formal tidak menjadikan orang kampung jauh dari kebiasaan mereka yang serba improve sehingga gaya aktor/aktris kampung yang telah ada dalam setiap individu tinggal memoles.

Orang kampung “pinggiran” tidak banyak tahu tentang teater yang sesungguhnya, walaupun sering mendengar atau pernah melihat. Selama ini mereka mengenal teater hanya sebatas kulit tanpa tahu isinya, mereka hanya tahu bahwa teater itu sandiwara atau drama yang dapat menghibur baik dari segi cerita ataupun penampilannya, atau pengetahuan mereka atas teater hanya sekedar sebuah cerita yang ditampilkan di panggung, baik cerita yang dapat menguras air mata merekam, memaki-maki karena amarah atau sebaliknya membuat mereka tertawa terpingkal – pingkal.

Namun banyak juga yang tidak tahu sama sekali apa itu teater! Agar mereka mengetahui teater, teater sendiri yang harus “ngampung” atau terjun langsung ke kampung, kembali keharibaan ibu buminya. Bukankah teater rakyat juga berasal dari mereka yang kepepet sehingga mengadakan ritual sebagai doa untuk mohon petunjuk agar panen melimpah atau supaya diberi kesehatan dan penolak bala hingga para pelaku katarsis dan akhirnya diteruskan dengan wujud teater syukur.

Teater atau kesenian adalah bagian integral dari sistem kemasyarakatan sehingga gaya yang akan timbul pasti tidak jauh dari keyakinan ideologis serta srtuktur masyarakatnya. Mengembalikan teater ke masyarakat kampung “pinggiran” adalah pelajaran tersendiri yang kaya dengan makna. Kolektifitas teater adalah kesatuan komponen yang harus berjalan seimbang. Raja tidak akan hidup tanpa rakyat, rakyat tidak akan terarah tanpa pemimpin dan Hidup tidak akan berjalan kalau tidak ada orang lain dan seterusnya. Demikianlah, kolektifitas teater memiliki makna yang kurang lebih sama dengan mekanisme hidup.

Sesungguhnya mengenalkan teater di kalangan orang “pinggiran” adalah untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri. Keberadaan mereka secara individu, sosial, kultural dan secara politis. Di setiap kampung memiliki gaya sendiri sebagai local genius aturan main yang tidak pernah baku namun selalu diacu. Teater dapat dijadikan kaca brenggala, sampai suatu saat mereka akan tahu dengan kondisi dirinya, mereka akan tahu jikalau orang kampung “pinggir” itu kreatif, survive dan pandai mensiasati hidup namun juga pemalas. Inilah bentuk resistensi mereka.

Bentuk seperti itulah yang harus kita upayakan tetap hidup dalam kampung “pinggiran”. Dengan kata lain kita tidak perlu mencari sesuatu yang tidak ada di kampung “pinggiran” walaupun sesekali perlu kita memperkenalkan hal-hal baru agar tak ketinggalan informasi. Kekayaan akan ide yang begitu luar biasa harus diolah melalui ketajaman intuisi atau bahkan melalui kejujuran/keluguan apa adanya.

Namun kita tidak perlu heran apabila suatu saat akan mengalami kejutan yang ditimbulkan dari sikap pemberontakan/penolakan dari orang kampung, misalnya penggunakan kalimat kasar/jorok atau adegan ‘saru’ yang tidak senonoh pasti akan mendapatkan kritikan tajam, walaupun sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak jauh dari semua itu. Namun mengapa ketika dipanggungkan hal itu justru ditentang? Kampung-kampung yang disebutkan diatas adalah kampung yang selama ini oleh warga Jogja dianggap kampung “preman” atau kampung ‘gali’. Sebutan itu terkadang membuat risih warga yang tinggal di sana karena dengan demikian mereka selalu berada dalam bayang-bayang gelap di setiap langkahnya. Hal ini menjadikan mereka dijauhi oleh banyak orang ketika identitasnya diketahui. Oleh karenanya mereka berupaya sedapat mungkin untuk menghapus citra atau menyembunyikan idetitas mereka dari khalayak umum. Maka apabila kreatifitas yang digarap merupakan serapan dari hal “buruk” yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya, maka sensor yang mereka lakukan adalah hal lumrah untuk kepentingan kenyamanan dalam penyamaran identitas. Disini teater telah memasuki wilayah “kesadaran” akan keberadaan dan identitas.

Hal itu wajar. Namun apabila dalih mereka adalah religiusitas islam, maka harus dimaknai lebih lanjut. Agar tidak terjadi friksi dalam masyarakat sendiri. Sesungguhnya pementasan adalah laku trasitif. Nilainya tidak terwujud dalam dirinya, tetapi termanifestasikan dalam dampaknya terhadap publik. Yang dipandang bukanlah pemain menyentuh atau memeluk, melainkan apakah sentuhan dan pelukan itu (ibu dan anaknya, suami dan istri, lelaki dan pacarnya) mempunyai dampak positif, netral atau negatif kepada penonton, yang dipandang bukanlah terbuka atau tertutup aurat artisnya namun lebih pada aktingnya menimbulkan hikmah atau fitnah. Yang diharapkan dapat dimengerti oleh penonton adalah bukan hanya melihat pemainnya namun apa yang dimainkan. Pemain hanya mengantar atau mengilustrasikan menuju alam imajinasi penonton. Yang pasti tidak semua yang masuk kriteria estetika dalam kesenian perlu dijadikan acuan kalau tidak sesuai dengan moral dan norma.

Kesadaran akan identitas, keberadaan dan eksistensi perlu dijaga melalui apa saja. Teater hanya mengantarkan kepada kita menuju ruang hampa agar pemahaman tentang kemarjinalan, ketertindasan dan kelemahan dan pelemahan dapat disadari. Bahwa mereka yang kurang beruntung juga tetap layak untuk mengetahui apa yang orang lain ketahui. Memberi penyadaran melalui proses teater non formal atau “mengampungkan” teater bukan hanya menambah pengetahuan mereka namun menumbuhkan percaya diri, mengajak mereka dalam mengorganisir diri, memperkuat jaringan dan yang lebih penting adalah menumbuhkan optimisme hidup ke depan agar resistensi mereka tetap terjaga. Akhirnya teater hanya sarana, pementasan bukan tujuan utama akan tetapi proses merupakan pementasan yang sesungguhnya.

( Source : M. Abdilah Yusuf , Penggiat teater,Relawan Yayasan Pondok Rakyat )




Menjadi Orang Miskin Memang Sial

Sial memang menjadi orang miskin, untuk bertahan hidup saja seringkali harus menitikan air mata. Kita tentu masih ingat penertiban pedagang kaki lima dibeberapa tempat tempo hari. Yang paling anyar terjadi di Pasar Senen (1/8) dan Kramat Jati (31/7). Itulah potret bertajuk ironi yang kerap kali menjadikan wajah kita semakin kusam-masam. Tidak terbayangkan oleh saya, jika saya menjadi mereka. Gerobak mereka dihancurkan dan diangkut aparat Polisi Pamong Praja. Tidak ketinggalan, kekerasan fisik menyertai mereka. Ditendang, dipukul dengan pentungan, juga caci maki. Tiada daya, mereka hanya orang-orang kecil yang “bodoh” dan tertindas. Melawan berarti bunuh diri. Diam dan bertahan berarti bermain kucing-kucingan dengan aparat. Sementara periuk nasi harus terisi untuk makan anak dan istri.

Kebijakan pemerintah kota berbuah simalakalma. Jika tidak ditertibkan; keindahan, ketertiban dan kesemrawutan tidak akan terhindarkan. Penggusuran pun berbuah perlawanan hingga anarkisme. Faktanya, kebijakan pemerintah kota dalam mengatasi keberadaan pedagang kaki lima memang selalu bermuka dua. Di lapangan, banyak oknum yang memungut biaya sewa dan retribusi macam-macam. Sehingga, pedagang merasa keberadaan mereka berstatus legal. Inilah benang kusut yang terjadi. Sementara, kehidupan ekonomi masyarakat bawah sangat bergantung dari sektor informal seperti kaki lima.

Yang disayangkan, penertiban pedagang kaki lima diberbagai tempat seringkali tidak diiringi dengan mencari solusi untuk mereka. Atau bisa jadi, kebijakan solutif yang diberikan pemerintah ditolak karena berbagai alasan. Kebijakan relokasi misalnya, sering menimbulkan dampak ekonomis negatif yang signifikan, sehingga mereka enggan mengikutinya.Bukan itu saja, yang sering luput dari penggusuran kaki lima adalah dampak ekonomi-sosial yang terjadi di masyarakat. Yang paling terlihat jelas tentu saja akan menambah jumlah pengangguran padahal kebanyakan dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Tidak sedikit diantaranya yang berstatus perantau tanpa sanak saudara, atau tidak mempunyai harta apapun kecuali gerobak dagangannya. Dapat dibayangkan tentunya apa yang akan terjadi, secara drastis mereka kehilangan mata pencaharian. Dan dalam jangka tidak terlalu lama akan menambah angka kemiskinan. Jangan dilupakan, kemiskinan adalah faktor utama timbulnya gejolak sosial dan penyakit masyarakat.

Kebijakan pemerintah yang lamban dalam menangani kasus seperti ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Dalam kasus seperti itu terlihat bahwa keberpihakan pemerintah dalam mengelola sektor ekonomi masyarakat bawah memang tidak pernah serius atau sepenuh hati.Jika keberadaan pedagang kaki lima dipersoalkan karena lokasinya bukanlah tempat berdagang resmi, nasib pasar tradisional pun serupa walau tidak sama. Saat ini yang dipersoalkan justru lebih kompleks lagi. Baik pedagang kaki lima maupun yang ada di pasar tradisional mengeluh karena omzet mereka dari hari-kehari terus merosot. Tidak sedikit diantaranya yang gulung tikar dan beralih keusaha lain.

Pemihakan yang lemah kepada kalangan ekonomi masyarakat bawah memang begitu kental dirasa. Seringkali pembangunan dan pengembangan pasar tradisional terkesan tidak pernah serius. Untuk Jakarta saja ada 151 pasar tradisional yang kebanyakan keberadaannya memprihatinkan. Akhirnya, jadilah pasar tradisional tempat yang begitu menyeramkan. Kumuh, kotor, jorok, bau, tempat tumbuhnya premanisme dan semacamnya. Intinya sangat tidak nyaman dan aman. Hal ini kemudian membagi kelas-kelas dalam masyarakat yang semakin menganga. Sehingga banyak masyarakat memilih untuk mencari alternatif lain dalam membeli kebutuhannya, seperti supermarket dan mal.Ada korelasi yang jelas terlihat antara munculnya pusat perdagangan modern dan mundurnya perekonomian di pasar tradisional. Survei yang dilakukan AC Neilsen seperti dimuat Majalah Saksi (7/5) memaparkan, pertumbuhan supermarket yang masuk hingga ke perkampungan di Indonesia mencapai 31,4 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan pasar tradisional yang minus 8 persen.

Seorang pedagang di pasar tradisional di bilangan Depok mengeluh kepada saya. Ia menceritakan bagaimana surutnya perputaran perekonomian di pasar itu. Omzet usahanya terus menurun karena sepinya pembeli. Bahkan banyak kawan-kawannya yang sudah puluhan tahun menempati pasar itu harus gulung tikar arena usahanya bangkrut. Ini adalah fakta yang terjadi. Ia bercerita “orang sekarang lebih senang membeli kangkung di supermarket dari pada disini, seringkali harganya pun lebih murah. Ditambah lagi dingin dan bersih. Sementara di pasar becek dan bau,” begitu paparnya.Keberadaan mal dan hypermarket di Indonesia tentunya tidak lepas dari kebijakan pemerintah untuk mengundang investor dan menanamkan modalnya. Akan tetapi tanpa disadari hal itu justru menimbulkan masalah karena keberadaannya menggerus pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil. Juga bukan rahasia lagi, sejak mengikuti program IMF, banyak perusahaan asing yang memaksa masuk jauh kejantung-jantung strategis perekonomian masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, kehadiran mal dan hypermarket tersebut tidak lain adalah bentuk dari penjajahan pemodal asing melalui lembaga-lembaga donor Internasional, dengan dalih memulihkan perekonomian sebuah negara.

Tidak pelak memang, keberadaan mal hingga hypermarket di Indonesia sudah semakin tidak terbendung lagi. Disadari atau tidak hal itu berpengaruh terhadap perilaku masyarakat sebagai konsumen. Pola konsumtif seakan menjadi tren yang menjangkiti berbagai lapisan masyarakat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sektor perdagangan masyarakat kelas bawah. Orang berbelanja bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan melainkan karena gengsi dan hiburan. Jika sudah seperti itu keberadaan pedagang kaki lima dan pasar tradisional akan semakin terlibas zaman.Entah sampai kapan, jutaan pedagang kecil dengan modal seadanya akan mampu bertahan menghadapi supermarket-supermarket besar dengan harga lebih murah dan kualitas yang lebih baik. Barangkali tinggal menunggu waktu saja. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh monopoli kaum minoritas kapitalis dengan kekuatan modalnya, tidak sanggup dihadapi oleh rakyat kebanyakan yang jumlahnya jauh lebih besar.

Barangkali juga bukan karena faktor gempuran ekonomi dunia yang memang tidak dapat lagi dilarang masuk ke negeri ini. Tetapi, karena kebodohan kita sendiri yang begitu mudah terbawa arus budaya konsumerisme, hingga kehilangan jati diri dan terlena dengan gemerlap semu. Barangkali juga diperparah dengan enggannya bangsa ini untuk menyatukan kekuatan dan menunjukan bahwa Indonesia pun dapat berdiri dengan caranya sendiri. Dan dapat bersaing secara sehat di era kesejagatan.Jika hal ini tidak juga disadari, maka jangan salahkah zaman. Bahwa persaingan bebas adalah surga bagi mereka yang mampu bertahan dan neraka bagi yang tersingkir. Zaman kini adalah zaman kejam, jika tidak mempunyai sesuatu yang dapat bersaing, jangan harap ada kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan. Kondisinya kemudian diperparah oleh keberadaan negara yang tidak mampu memberikan hak-hak rakyatnya untuk mendapatkan kesejahteraan, alih-alih malah menjadi korban kebijakan kapitalistik. Orang kecil memang selalu menjadi korban. Sial memang menjadi orang miskin!

( Source : SKETSA ORANG PINGGIRAN by Dedekkurniawan.wordpress )

Kehidupan Ekonomi Seniman

Alexander Solzhenitsyn, sastrawan Rusia, dalam Pidato Nobelnya 1970 (tidak langsung disampaikan karena khawatir tidak boleh lagi pulang ke tanah airnya), mengutip ungkapan Dostoevsky: "Beauty will save the world." Keindahan akan menyelamatkan dunia. (Lih. Nobel Lecture, terj. F.D. Reeve. New York: Farrar, Straus and Giroux, 1973, hlm 6). Kemudian di akhir pidatonya, dikutipnya pula pribahasa Rusia: "Timbangan sebuah kata yang benar lebih berat dari dunia."(Ibid, hlm 34). Dengan kata lain, hanya keindahan dan kebenaran sajalah yang dapat menyelamatkan dunia dan peradaban.

Kerinduan pada keindahan dan kebenaran sebenarnya dimiliki semua unit peradaban, tanpa kecuali. Tetapi, mengekspresikannya dapat saja melalui cara yang berbeda sesuai dengan lingkungan dan corak kultur masing-masing suku bangsa. Dalam pribahasa Arab, kita kenal tuturan: "Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan." Maka seniman sejati, apakah itu seorang penyair, penari, dan dramawan, dengan caranya sendiri adalah agen kontemplasi, untuk meminjam ungkapan WS Rendra, dalam mengekspresikan kebenaran lewat keindahan.

Perhatian Resonansi ini bukan untuk membicarakan masalah syair, tari, dan drama, karena ranah itu memang bukan dunia saya. Yang hendak disorot hanyalah kehidupan ekonomi para penyair, penari, dan dramawan di Indonesia sebagai bangsa yang masih rendah apresiasinya terhadap keindahan. Berbeda dengan pelukis terkenal, seperti Afandi, Basuki Abdullah, dan yang sekelas mereka dengan kehidupan ekonomi yang relatif mapan berkat lukisan yang laris di pasar, tiga kelompok seniman di atas umumnya masih mengerang dalam mengatasi kesulitan ekonomi mereka. Cerita pilu yang melingkari penyair Chairil Anwar yang telantar dan wafat muda dalam kemelaratan, masih cukup hangat dalam memori sebagian kita.

Jarang seniman dalam kategori di atas yang dapat bernapas lega secara ekonomi, kecuali jika istri/suaminya seorang pengusaha, seperti yang terlihat pada penyair Taufiq Ismail, atau dia sendiri yang pengusaha, seperti Gunawan Mohamad, atau seorang Ajib Rosidi yang pernah jadi profesor selama 22 tahun di Jepang. WS Rendra, dramawan besar itu, dan anak buahnya yang pernah dilatihnya di Bengkel Teater, tampaknya tidak banyak yang mapan secara ekonomi. Apalagi tanggungan Rendra mungkin lebih dari satu kompi yang harus bergantung padanya.

Pernah saya tanyakan apakah Bung Renda akan datang dengan mobil sendiri ke peluncuran Otobiografi saya pada 6 Juni di Jakarta, dijawab datar: "Tidak punya mobil." Tempat tinggalnya yang jauh di Depok, sekitar dua jam dari kota cukup melelahkan dalam perjalanan bagi seorang seniman yang sudah berumur.

Cerita tentang Rendra ini pernah saya sampaikan kepada seorang jenderal purnawirawan yang pengusaha, dia hanya kaget mendengar. Seorang seniman sejati pasti tidak akan mau meminta jika cara itu dapat membuat integritas kesenimanannya menjadi sumbing. Tetapi, pertanyaan kita adalah: apakah tidak terbetik gagasan dari pemerintah untuk turut memikirkan kehidupan ekonomi para seniman ini, seperti Bang Ali Sadikin telah berbuat besar dengan TIM (Taman Ismail Marzuki)-nya? Bukan untuk memanjakan seniman, tetapi agar mereka tidak lagi sesak napas untuk menghidupkan asap dapur dan menghibur anak yang merengek. Potensi spiritual dan intelektual mereka yang dahsyat tentu akan dapat lebih dikerahkan secara kreatif pada bidangnya masing-masing demi peningkatan kualitas kebudayaan bangsa secara keseluruhan dalam makna yang luas, jika ditopang oleh pilar ekonomi yang layak.

Ekspresi seorang Rendra di bawah patut kita dengar dan kita simak, terutama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersikap apresiatif dan empati terhadap kehidupan ekonomi para seniman. Rendra bertutur dengan lembut:

Di zaman modern tantangan mencari nafkah sungguh sulit dijawab para penyair, penari, dan dramawan. Di negara modern yang maju sudah lumrah bila pemerintahnya dan para maecenasnya menyadari pentingnya memberikan prioritas subsidi kepada mereka. Tetapi, di dunia ketiga yang baru berkembang ke dalam modern, para penyair, penari, dan dramawan hidup sebagai orang pinggiran yang sulit mencari nafkah. Kalau tegar rezekinya adalah nama baik dan harga diri. (LIh. Dwi Klik Santosa (ed.), Catatan-Catatan Rendra Tahun 1960-an. Bekasi Selatan: Burungmerak Press, 2005, hlm 120).

Apa yang dituturkan Rendra ini, itulah umumnya kehidupan para penyair, penari, dan dramawan di dunia berkembang, khususnya di Indonesia, sebuah bangsa korup yang budayanya telah dirusak oleh tangan anak-anaknya sendiri sampai batas-batas yang jauh. Politik telah gagal, ekonomi gagal, sedangkan puisi belum juga tampil ke gelanggang dengan tegar dan gagah sebagai juru selamat, karena para penyair, penari, dan dramawan masih berada pada posisi sebagai "orang pinggiran" di dunia rezeki. Nama baik dan harga diri masih mungkin dipertahankan, tetapi alangkah sulitnya berkompromi dengan dapur yang kurang asap?

( Source : Harian Republika by Ahmad Syafii Maarif )

Puisi : Orang-Orang pinggiran

Ditulis oleh Wina


(1)
kami yang terpinggir
terusir
kami yang terpinggir
minggir
lari ngacir
mesin-mesin mengusir
deru kincir mengilir
pada orang-orang terpinggir

(2)
di dengus terakhir
kami minggir
bersetir anyir
tampaklah lendir

bibir-bibir terisolir
orang-orang bertopeng pandir

Kesempatan Orang Pinggiran

KULIT di wajahnya terlihat kemerah-merahan dan keringat penuh bercucuran. Namun sengatan matahari yang dirasakan setiap hari, tak mengurangi niatnya menjadi salah satu anggota Paskibraka Kab. Purwakarta. Tekadnya terus membara untuk dicatat menjadi salah satu pengibar bendera di hari kemerdekaan.

Kendati terpilih menjadi pasukan 8, atau pasukan inti dalam Paskibraka Kab. Purwakarta, Sri, merasa belum tenang. Jauh lebih penting yang menjadi konsentrasinya adalah harus sukses mengibarkan sang merah putih dan menurunkannya, pada saat perayaan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 2007, di Alun-Alun Kiansantang.

Gadis bungsu dari empat bersaudara ini, bernama lengkap, Sri Maharani, lahir di Jakarta, 7 Nopember 1990, dan sudah hampir sebulan bergabung dengan Paskibraka Kab. Purwakarta. Putri buah perkawinan almarhum, H. Sriparman Kabul dan Nani Nuryani, tercatat sebagai siswa SMA 2 di Kecamatan Darangdan. Dirinya merasa bangga masuk di pasukan 8 Paskibraka Kab. Purwakarta, dan ini di luar dugaan karena dari jumlah anggota kaumnya, tercatat ada 12 orang yang menjadi anggota Paskibraka.

Sri, yang pada acara upacara detik-detik memperingati hari kemerdekaan ke-62, akan dilaksanakan di Alun-alun Kiansantang, dipersiapkan untuk membawa baki di acara menaikkan bendera, dan sebagai cadangan membawa baki pada acara penurunan bendera di sore harinya. Diberi tugas yang sangat berat, bagi Sri, merupakan tantangan. Maka, ia pun serius berlatih, agar mampu menyelesaikan tugas dengan baik di hari yang sangat bersejarah itu.

”Saya merasa bangga terpilih menjadi anggota 8 dalam Paskibraka Kab. Purwakarta, Saya tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan para instruktur. Saya akan berlatih tekun dan konsentarsi pada setiap aba-aba atau perintah instruktur,” tegasnya.

Dia menuturkan, banyak manfaat yang didapat setelah bergabung dengan paskibraka, terutama yang tak akan terlupakan adalah sikap mandiri yang terbentuk setelah ada di penampungan.

Dirinya tidak menampik, bila punya sifat manja di rumahnya kepada orang tua yang hanya tinggal ibu sendirian dan menjadi bungsu dari empat bersaudara. Namun, setelah bergabung dengan paskibraka, dengan sendirinya sifat manja itu hilang karena segala sesuatunya harus ditentukan sendiri.

Selain itu yang dirasakan pula adalah soal disiplin. Disiplin yang ditegakkan sangat luas, mulai soal waktu yang harus tepat dalam segala hal kerapian, dan ketaatan.Begitu juga soal mental, keberanian, konsentrasi serta yang tak kalah penting berani meninggalkan berbagai kesenangannya atau hobi. ”Beratlah pokoknya. Untuk menghasilkan yang terbaik memang butuh pengorbanan,” kata dia.

”Saya mengucapkan terima kasih kepada para instruktur yang telah mempercayai masuk pasukan 8. Kepercayaan ini akan diperlihatkan dengan latihan yang serius penuh disiplin,” tegasnya. Dia tidak merasa hebat karena terpilih di pasukan 8, meskipun bangga karena sebagai orang daerah dapat bersaing dengan mereka yang berada di kota. Katanya, ini hanya menunjukkan bahwa mereka yang dari pinggiran pun punya potensi, asal ada kesempatan.

( Source : PR Bandung by Sri Maharani )