Selasa, 30 Oktober 2007

Cina, Caina atau Caines? Sebut Saja Tionghua

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman, orang Indonesia yang tinggal di Singapura bercerita tentang orang-orang Malaysia dan orang-orang melayu di Singapura yang melecehkan orang-orang Indonesia dari suku selain Tionghua dengan sebutan Indon. Dia seorang Jawa dan merasa kesal sekali setiap kali disebut Indon. Saya lalu bertanya, apa arti kata Indon padanya. Dia bilang, Indon adalah singkatan dari Indonesia. Lalu saya bertanya, bukankah dia, walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Singapura, namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia, lalu, kenapa harus merasa sakit hati ketika dipanggil Indon, singkatan dari Indonesia? Walaupun teman itu lalu menjelaskan dengan panjang lebar alasan dia merasa sakit hati ketika disebut Indon, namun saya pura-pura tidak memahaminya hingga teman itu berkata, betapa dia sekarang paham kenapa orang-orang cina merasa sakit hati ketika disebut cina.

Saya ingat, waktu SMA dulu, saya memaki salah seorang teman saya, seorang Jawa dengan kalimat “Cina lu!” Akibat makian itu, kami lalu berkelahi dan harus menghadap kepala sekolah. Saat itu, kepala sekolah bertanya, kenapa saya memaki teman saya cina sedangkan saya tahu dia adalah orang Jawa? “Pak, orang jawa saja marah ketika disebut cina, apalagi orang cina? Bukankah sudah saatnya sekolah mengkampanyekan penggunakan sebutan lain yang tidak menyakiti bagi orang-orang cina, misalnya dengan sebutan Tionghua?”

Di kalangan orang-orang Tionghua, banyak yang menyebut orang-orang Jawa, Sunda, Batak, Makasar, Madura dengan sebutan pribumi atau orang Indonesia. Herannya, banyak sekali teman-teman yang gembar-gembor membanggakan dirinya adalah pribumi, marah besar ketika disebut sebagai pribumi atau Indonesia oleh orang-orang Tionghua.

Kenapa orang Tionghua marah ketika disebut cina?

Sebuah teori menyatakan, bahwa orang-orang Tionghua marah ketika disebut cina, karena sebutan itu pertama kali digunakan oleh orang-orang Jepang untuk melecehkan bangsa Tiongkok. Tiongkok artinya negara tengah, sedangkan cina dalam bahasa Jepang berarti orang pinggiran atau wong ndeso.

Apakah teori tersebut benar? Mungkin ada kebenaran dalam teori tersebut, namun silahkan bertanya kepada orang-orang Tionghua yang anda kenal, saya jamin, anda akan heran sendiri, karena hampir semua orang Tionghua yang anda kenal tidak mengetahui teori tersebut sama sekali.

Kenapa orang Eropah menyebut bangsa Tiongkok dengan sebutan China dan menyebut orang Tionghua dengan chinese?

Teori yang paling populer menyatakan, bahwa pada saat bangsa Eropah mengenal bangsa Tiongkok, saat itu Tiongkok ada di bawah kekuasaan dinasti chin (qin) (221-206 SM). di bawah kaisar Qin Shi Huang Di yang berkuasa.

Kenapa orang Tionghua Indonesia marah ketika disebut cina, namun lega lilo (tidak keberatan) ketika disebut caina atau cines?

Saya belum pernah melakukan penelitian atas hal itu dan belum pernah membaca teori tentang hal itu. Jadi ini kesempatan bagi anda-anda yang hendak melakukan penelitian dan menulis tesis.

Kenapa orang Tionghua Indonesia menyebut dirinya Tionghua dan menuntut orang lain menyebut dirinya Tionghua?

Karena mereka merasa nyaman ketika disebut Tionghua.

Kenapa orang Sunda tidak mau disebut orang Jawa, padahal mereka tinggal di Jawa Barat?

Karena mereka memahami Jawa sebagai orang Jawa tengah dan Jawa Timur.

Bagaimana dengan mereka yang disebut Jawareh, jawa sawareh (jawa sebagian)?

Sebagian Jawareh tinggal di propinsi Banten, sebagian lainnya tinggal di Cirebon. Mereka menolak disebut orang Jawa, walaupun bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa dengan sedikit campuran bahasa Sunda.

Anda tahu, kebanyakan pastur keturunan Eropah yang ada di pulau Jawa merasa lebih nyaman dipanggil Romo dan menolak dipanggil Pastor. Saya pernah bertanya kepada belasan Romo demikian, kenapa bisa begitu? Mereka bilang, ketika dipanggil Romo, mereka merasa nyaman, namun ketika dipanggil pastor mereka marasa sebagai orang asing.

Waktu muda dulu, saya sering berkelahi gara-gara memaki temanku, “Batak lu, Ambon lu, Jawa lu, Melayu lu, Padang Lu, cina lu!” Namun teman-teman yang kumaki, “Irian lu, bengkulu lu, Lampung lu, Madura Lu, Makasar lu, Palembang Lu, Nias Lu, Dayak Lu, Sunda lu, Betawi lu, Key lu, jawareh lu!” selain tidak marah, mereka juga menganggapku orang gila.

Ketika ditanya “kamu orang apa?” dengan senang hati saya akan menjawab “Saya orang Hokian!” Selanjutnya, terserah anda mau menyebut saya orang cina atau orang caina atau orang cines. Namun bila ditanya, dengan apa aku akan disebut, orang cina, caine, cines atau tionghua? Maka aku akan memilih disebut tionghua, karena kebanyakan teman-temanku suka disebut tionghua.

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman bertanya kepadaku, “apa yang akan terjadi kalau orang-orang Tionghua Indonesia memperjuangkan, agar pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melarang penyebutan cina?” Setelah memikirkannya beberapa saat, maka saya menjawab,

“Nampaknya hal itu akan mendapat tantangan dari pemerintah Republik Rakyat Cina dan para pedagang barang-barang dari China, karena biaya yang harus mereka tanggung terlalu mahal. Baik ditulis cina atau china, selama ini tetap saja disebut cina, bukan caina. Kalau semua barang Made in China harus disebut Made in Tiongkok, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetak label baru? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melatih para karyawan dan berapa iklan yang harus di pasang?”

Temanku itu bilang aku orang gila. Bahkan ketika aku menjelaskannya lebih lanjut.

“Coba lu bayangin, ada orang datang mau beli motor, dia tanya, mau beli mocin ada? Lalu dijawab, nggak ada mas, di sini khusus jual motor Tiongkok!”

Source : SABDA SPACE

Tidak ada komentar: