Selasa, 30 Oktober 2007

Kehidupan Ekonomi Seniman

Alexander Solzhenitsyn, sastrawan Rusia, dalam Pidato Nobelnya 1970 (tidak langsung disampaikan karena khawatir tidak boleh lagi pulang ke tanah airnya), mengutip ungkapan Dostoevsky: "Beauty will save the world." Keindahan akan menyelamatkan dunia. (Lih. Nobel Lecture, terj. F.D. Reeve. New York: Farrar, Straus and Giroux, 1973, hlm 6). Kemudian di akhir pidatonya, dikutipnya pula pribahasa Rusia: "Timbangan sebuah kata yang benar lebih berat dari dunia."(Ibid, hlm 34). Dengan kata lain, hanya keindahan dan kebenaran sajalah yang dapat menyelamatkan dunia dan peradaban.

Kerinduan pada keindahan dan kebenaran sebenarnya dimiliki semua unit peradaban, tanpa kecuali. Tetapi, mengekspresikannya dapat saja melalui cara yang berbeda sesuai dengan lingkungan dan corak kultur masing-masing suku bangsa. Dalam pribahasa Arab, kita kenal tuturan: "Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan." Maka seniman sejati, apakah itu seorang penyair, penari, dan dramawan, dengan caranya sendiri adalah agen kontemplasi, untuk meminjam ungkapan WS Rendra, dalam mengekspresikan kebenaran lewat keindahan.

Perhatian Resonansi ini bukan untuk membicarakan masalah syair, tari, dan drama, karena ranah itu memang bukan dunia saya. Yang hendak disorot hanyalah kehidupan ekonomi para penyair, penari, dan dramawan di Indonesia sebagai bangsa yang masih rendah apresiasinya terhadap keindahan. Berbeda dengan pelukis terkenal, seperti Afandi, Basuki Abdullah, dan yang sekelas mereka dengan kehidupan ekonomi yang relatif mapan berkat lukisan yang laris di pasar, tiga kelompok seniman di atas umumnya masih mengerang dalam mengatasi kesulitan ekonomi mereka. Cerita pilu yang melingkari penyair Chairil Anwar yang telantar dan wafat muda dalam kemelaratan, masih cukup hangat dalam memori sebagian kita.

Jarang seniman dalam kategori di atas yang dapat bernapas lega secara ekonomi, kecuali jika istri/suaminya seorang pengusaha, seperti yang terlihat pada penyair Taufiq Ismail, atau dia sendiri yang pengusaha, seperti Gunawan Mohamad, atau seorang Ajib Rosidi yang pernah jadi profesor selama 22 tahun di Jepang. WS Rendra, dramawan besar itu, dan anak buahnya yang pernah dilatihnya di Bengkel Teater, tampaknya tidak banyak yang mapan secara ekonomi. Apalagi tanggungan Rendra mungkin lebih dari satu kompi yang harus bergantung padanya.

Pernah saya tanyakan apakah Bung Renda akan datang dengan mobil sendiri ke peluncuran Otobiografi saya pada 6 Juni di Jakarta, dijawab datar: "Tidak punya mobil." Tempat tinggalnya yang jauh di Depok, sekitar dua jam dari kota cukup melelahkan dalam perjalanan bagi seorang seniman yang sudah berumur.

Cerita tentang Rendra ini pernah saya sampaikan kepada seorang jenderal purnawirawan yang pengusaha, dia hanya kaget mendengar. Seorang seniman sejati pasti tidak akan mau meminta jika cara itu dapat membuat integritas kesenimanannya menjadi sumbing. Tetapi, pertanyaan kita adalah: apakah tidak terbetik gagasan dari pemerintah untuk turut memikirkan kehidupan ekonomi para seniman ini, seperti Bang Ali Sadikin telah berbuat besar dengan TIM (Taman Ismail Marzuki)-nya? Bukan untuk memanjakan seniman, tetapi agar mereka tidak lagi sesak napas untuk menghidupkan asap dapur dan menghibur anak yang merengek. Potensi spiritual dan intelektual mereka yang dahsyat tentu akan dapat lebih dikerahkan secara kreatif pada bidangnya masing-masing demi peningkatan kualitas kebudayaan bangsa secara keseluruhan dalam makna yang luas, jika ditopang oleh pilar ekonomi yang layak.

Ekspresi seorang Rendra di bawah patut kita dengar dan kita simak, terutama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersikap apresiatif dan empati terhadap kehidupan ekonomi para seniman. Rendra bertutur dengan lembut:

Di zaman modern tantangan mencari nafkah sungguh sulit dijawab para penyair, penari, dan dramawan. Di negara modern yang maju sudah lumrah bila pemerintahnya dan para maecenasnya menyadari pentingnya memberikan prioritas subsidi kepada mereka. Tetapi, di dunia ketiga yang baru berkembang ke dalam modern, para penyair, penari, dan dramawan hidup sebagai orang pinggiran yang sulit mencari nafkah. Kalau tegar rezekinya adalah nama baik dan harga diri. (LIh. Dwi Klik Santosa (ed.), Catatan-Catatan Rendra Tahun 1960-an. Bekasi Selatan: Burungmerak Press, 2005, hlm 120).

Apa yang dituturkan Rendra ini, itulah umumnya kehidupan para penyair, penari, dan dramawan di dunia berkembang, khususnya di Indonesia, sebuah bangsa korup yang budayanya telah dirusak oleh tangan anak-anaknya sendiri sampai batas-batas yang jauh. Politik telah gagal, ekonomi gagal, sedangkan puisi belum juga tampil ke gelanggang dengan tegar dan gagah sebagai juru selamat, karena para penyair, penari, dan dramawan masih berada pada posisi sebagai "orang pinggiran" di dunia rezeki. Nama baik dan harga diri masih mungkin dipertahankan, tetapi alangkah sulitnya berkompromi dengan dapur yang kurang asap?

( Source : Harian Republika by Ahmad Syafii Maarif )

Tidak ada komentar: