Selasa, 30 Oktober 2007

Menjadi Orang Miskin Memang Sial

Sial memang menjadi orang miskin, untuk bertahan hidup saja seringkali harus menitikan air mata. Kita tentu masih ingat penertiban pedagang kaki lima dibeberapa tempat tempo hari. Yang paling anyar terjadi di Pasar Senen (1/8) dan Kramat Jati (31/7). Itulah potret bertajuk ironi yang kerap kali menjadikan wajah kita semakin kusam-masam. Tidak terbayangkan oleh saya, jika saya menjadi mereka. Gerobak mereka dihancurkan dan diangkut aparat Polisi Pamong Praja. Tidak ketinggalan, kekerasan fisik menyertai mereka. Ditendang, dipukul dengan pentungan, juga caci maki. Tiada daya, mereka hanya orang-orang kecil yang “bodoh” dan tertindas. Melawan berarti bunuh diri. Diam dan bertahan berarti bermain kucing-kucingan dengan aparat. Sementara periuk nasi harus terisi untuk makan anak dan istri.

Kebijakan pemerintah kota berbuah simalakalma. Jika tidak ditertibkan; keindahan, ketertiban dan kesemrawutan tidak akan terhindarkan. Penggusuran pun berbuah perlawanan hingga anarkisme. Faktanya, kebijakan pemerintah kota dalam mengatasi keberadaan pedagang kaki lima memang selalu bermuka dua. Di lapangan, banyak oknum yang memungut biaya sewa dan retribusi macam-macam. Sehingga, pedagang merasa keberadaan mereka berstatus legal. Inilah benang kusut yang terjadi. Sementara, kehidupan ekonomi masyarakat bawah sangat bergantung dari sektor informal seperti kaki lima.

Yang disayangkan, penertiban pedagang kaki lima diberbagai tempat seringkali tidak diiringi dengan mencari solusi untuk mereka. Atau bisa jadi, kebijakan solutif yang diberikan pemerintah ditolak karena berbagai alasan. Kebijakan relokasi misalnya, sering menimbulkan dampak ekonomis negatif yang signifikan, sehingga mereka enggan mengikutinya.Bukan itu saja, yang sering luput dari penggusuran kaki lima adalah dampak ekonomi-sosial yang terjadi di masyarakat. Yang paling terlihat jelas tentu saja akan menambah jumlah pengangguran padahal kebanyakan dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Tidak sedikit diantaranya yang berstatus perantau tanpa sanak saudara, atau tidak mempunyai harta apapun kecuali gerobak dagangannya. Dapat dibayangkan tentunya apa yang akan terjadi, secara drastis mereka kehilangan mata pencaharian. Dan dalam jangka tidak terlalu lama akan menambah angka kemiskinan. Jangan dilupakan, kemiskinan adalah faktor utama timbulnya gejolak sosial dan penyakit masyarakat.

Kebijakan pemerintah yang lamban dalam menangani kasus seperti ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Dalam kasus seperti itu terlihat bahwa keberpihakan pemerintah dalam mengelola sektor ekonomi masyarakat bawah memang tidak pernah serius atau sepenuh hati.Jika keberadaan pedagang kaki lima dipersoalkan karena lokasinya bukanlah tempat berdagang resmi, nasib pasar tradisional pun serupa walau tidak sama. Saat ini yang dipersoalkan justru lebih kompleks lagi. Baik pedagang kaki lima maupun yang ada di pasar tradisional mengeluh karena omzet mereka dari hari-kehari terus merosot. Tidak sedikit diantaranya yang gulung tikar dan beralih keusaha lain.

Pemihakan yang lemah kepada kalangan ekonomi masyarakat bawah memang begitu kental dirasa. Seringkali pembangunan dan pengembangan pasar tradisional terkesan tidak pernah serius. Untuk Jakarta saja ada 151 pasar tradisional yang kebanyakan keberadaannya memprihatinkan. Akhirnya, jadilah pasar tradisional tempat yang begitu menyeramkan. Kumuh, kotor, jorok, bau, tempat tumbuhnya premanisme dan semacamnya. Intinya sangat tidak nyaman dan aman. Hal ini kemudian membagi kelas-kelas dalam masyarakat yang semakin menganga. Sehingga banyak masyarakat memilih untuk mencari alternatif lain dalam membeli kebutuhannya, seperti supermarket dan mal.Ada korelasi yang jelas terlihat antara munculnya pusat perdagangan modern dan mundurnya perekonomian di pasar tradisional. Survei yang dilakukan AC Neilsen seperti dimuat Majalah Saksi (7/5) memaparkan, pertumbuhan supermarket yang masuk hingga ke perkampungan di Indonesia mencapai 31,4 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan pasar tradisional yang minus 8 persen.

Seorang pedagang di pasar tradisional di bilangan Depok mengeluh kepada saya. Ia menceritakan bagaimana surutnya perputaran perekonomian di pasar itu. Omzet usahanya terus menurun karena sepinya pembeli. Bahkan banyak kawan-kawannya yang sudah puluhan tahun menempati pasar itu harus gulung tikar arena usahanya bangkrut. Ini adalah fakta yang terjadi. Ia bercerita “orang sekarang lebih senang membeli kangkung di supermarket dari pada disini, seringkali harganya pun lebih murah. Ditambah lagi dingin dan bersih. Sementara di pasar becek dan bau,” begitu paparnya.Keberadaan mal dan hypermarket di Indonesia tentunya tidak lepas dari kebijakan pemerintah untuk mengundang investor dan menanamkan modalnya. Akan tetapi tanpa disadari hal itu justru menimbulkan masalah karena keberadaannya menggerus pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil. Juga bukan rahasia lagi, sejak mengikuti program IMF, banyak perusahaan asing yang memaksa masuk jauh kejantung-jantung strategis perekonomian masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, kehadiran mal dan hypermarket tersebut tidak lain adalah bentuk dari penjajahan pemodal asing melalui lembaga-lembaga donor Internasional, dengan dalih memulihkan perekonomian sebuah negara.

Tidak pelak memang, keberadaan mal hingga hypermarket di Indonesia sudah semakin tidak terbendung lagi. Disadari atau tidak hal itu berpengaruh terhadap perilaku masyarakat sebagai konsumen. Pola konsumtif seakan menjadi tren yang menjangkiti berbagai lapisan masyarakat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sektor perdagangan masyarakat kelas bawah. Orang berbelanja bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan melainkan karena gengsi dan hiburan. Jika sudah seperti itu keberadaan pedagang kaki lima dan pasar tradisional akan semakin terlibas zaman.Entah sampai kapan, jutaan pedagang kecil dengan modal seadanya akan mampu bertahan menghadapi supermarket-supermarket besar dengan harga lebih murah dan kualitas yang lebih baik. Barangkali tinggal menunggu waktu saja. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh monopoli kaum minoritas kapitalis dengan kekuatan modalnya, tidak sanggup dihadapi oleh rakyat kebanyakan yang jumlahnya jauh lebih besar.

Barangkali juga bukan karena faktor gempuran ekonomi dunia yang memang tidak dapat lagi dilarang masuk ke negeri ini. Tetapi, karena kebodohan kita sendiri yang begitu mudah terbawa arus budaya konsumerisme, hingga kehilangan jati diri dan terlena dengan gemerlap semu. Barangkali juga diperparah dengan enggannya bangsa ini untuk menyatukan kekuatan dan menunjukan bahwa Indonesia pun dapat berdiri dengan caranya sendiri. Dan dapat bersaing secara sehat di era kesejagatan.Jika hal ini tidak juga disadari, maka jangan salahkah zaman. Bahwa persaingan bebas adalah surga bagi mereka yang mampu bertahan dan neraka bagi yang tersingkir. Zaman kini adalah zaman kejam, jika tidak mempunyai sesuatu yang dapat bersaing, jangan harap ada kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan. Kondisinya kemudian diperparah oleh keberadaan negara yang tidak mampu memberikan hak-hak rakyatnya untuk mendapatkan kesejahteraan, alih-alih malah menjadi korban kebijakan kapitalistik. Orang kecil memang selalu menjadi korban. Sial memang menjadi orang miskin!

( Source : SKETSA ORANG PINGGIRAN by Dedekkurniawan.wordpress )

Tidak ada komentar: