Selasa, 30 Oktober 2007

Pekikan Hak "Anak-anak Pinggiran"

Mereka ada di antara kita. Wajahnya tampak di persimpangan jalan, di pabrik, dalam angkutan umum, di perkebunan, di dekat timbunan sampah.

Jumlah mereka banyak, meningkat seiring pertambahan gedung, mal, ITC, dan real estate dalam metropolis Jakarta. Menjadi banyak berarti menjadi rutin. Maka, modus melihatnya seperti melihat lalat, yakni melihat serentak mengabaikan, yang mereka terima merupakan cermin bagaimana mereka ditempatkan dalam masyarakat.

Mereka menyadari hal itu. Maka, mereka menyebut diri "anak pinggiran", antara lain anak jalanan, pengamen, joki three in one, pemulung cilik, pengasong, berusia 5-17 tahun. Sebagian lain bekerja sebagai buruh pabrik. Dalam perjuangan survival of the fittest di belantara ekonomi metropolis modern, mereka adalah korban. Dan wajah korban itu makin jelas manakala placelessness mereka dipentaskan dalam kebijakan penggusuran, pembakaran, dan penelantaran permukiman mereka.

Cermin krisis solidaritas
Berada di pinggiran tidak hanya berarti berada dalam keterbatasan, seperti terungkap dalam kata "miskin", tetapi juga berarti menjadi batas cakrawala masyarakat itu sendiri sebab—seperti dipikirkan dalam teori sistem Niklas Luhmann—yang berada di pinggiran itulah yang memungkinkan perbedaan antara masyarakat dan bukan masyarakat. Eksistensi sosial mereka adalah identity maker sebuah masyarakat, seperti sebuah garis yang memberi bentuk, maka perlakuan atau pengabaian terhadap mereka merupakan cermin taraf keadaban masyarakat tempat mereka dipinggirkan.

Kota-kota yang menyambut mereka sebagai bagian masyarakat telah berhasil mengatasi problem integrasi sosialnya sebab anak-anak pinggiran adalah bagian naratif yang paling kelam dari identitas kota yang retak oleh pertarungan kepentingan.

Dapat dikatakan, ketelantaran mereka adalah cermin krisis solidaritas dan sivilitas kota. Sebagaimana keretakan sebuah keluarga ditandai dengan ketelantaran anak-anaknya, sebuah manajemen kota yang gagal untuk memobilisasi sikap-sikap dan aneka tindakan beradab warganya tercermin dalam marjinalisasi segmen yang paling lemah dan tak terlindung di dalam kota itu, yakni anak-anak miskin yang menjadi korban kekerasan kota dan keluarga mereka.

Pasar, birokrasi, dan budaya metropolis tanpa ampun telah melibas anak-anak ini dan merampas hak-hak mereka sebagai anak. Kilasan wajah cilik di jalan, di pabrik, di tempat sampah itu enggan kita tatap karena tatapan kita akan segera berbalik menjadi gugatan atas sikap apatis kita.

Jika yang terstigma ini "korban", siapa atau apakah "pelaku"-nya? Rentetan jawaban diberikan: negara, pasar, masyarakat, struktur, keluarga... ad infinitum sampai kita tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa. Namun, anak-anak yang dunia bermainnya telah terampas dan terdesak memikul tanggung jawab hidup tersebut tidak menyerah sebagai korban. Mereka bangkit menolong diri sendiri.

Ketika datang menengok Festival Budaya Anak Pinggiran Merdeka se-Jabodetabek, 13-15 Juli 2007, orang akan terkesima. Anak-anak ini tidak memohon belas kasih orang-orang dewasa. Anak-anak ini jauh dari kecengengan dan kemanjaan seperti lazim dijumpai dalam keluarga-keluarga "borjuis kota". Mereka menuntut hak-haknya yang telah diabaikan oleh orang-orang dewasa. Mereka bernarasi tentang bagaimana mereka menolong diri untuk melawan keterbatasan sendiri. Kepakan rajawali yang terluka memang tidak tinggi, tetapi tetap lebih gagah daripada kepakan ayam sehat karena rajawali menurut kodratnya enggan melekat di atas tanah.

Segmen lemah ruang publik
"Setiap anak," kata undang-undang perlindungan anak, "berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".

Bunyi undang-undang yang dirancang orang dewasa itu menghibur mereka. Realisasi hak-hak yang tercantum di dalamnya mereka tuntut. Suara kanak-kanak mereka tak mampu menyembunyikan ketegasan hatinya. Satu hal yang mereka ketahui.

Mereka adalah korban karena orang-orang dewasa yang ikut mengendalikan pasar, negara, masyarakat, struktur, keluarga…ad infinitum itu mengabaikan hak-hak mereka. Dan hak bukanlah suatu pemberian atau efek belas kasih orang lain, tetapi sesuatu yang dapat dituntutkan kepada orang lain. Oleh karena itu, mereka tidak mengemis hak; mereka menuntut. Dan karena dalam setiap hak tersebut melekat kewajiban pihak yang dituntut, si penuntut, yakni anak-anak, berhak mendapatkan respek dari orang lain dalam tuntutan mereka.

Berbicara hak seperti dilakukan anak-anak pinggiran ini tak lain daripada suatu tuntutan untuk bernegosiasi tentang nasib mereka. Namun, mereka tak punya wakil di parlemen, tak memiliki wadah ekspresi di ruang publik, dan keluarga mereka yang hancur oleh cekikan ekonomi sudah lama tidak mau memahami mereka. Anak-anak pinggiran, seperti juga kaum minoritas, para penyandang cacat, dan kaum manula, merupakan segmen paling lemah dalam ruang publik negara hukum. Status kanak-kanak dan stigma kemiskinan yang menjadi emblem menyulitkan mereka bernegosiasi dengan orang-orang dewasa di parlemen yang terlalu digundahkan masalah-masalah mereka sendiri.

Jika politik tidak dimengerti secara Machiavellian sebagai manipulasi strategis, tetapi secara Aristotelian sebagai penggalangan civic friendship, apa yang dilakukan anak-anak pinggiran di hadapan patung Proklamator RI itu adalah "politik" dalam arti yang otentik.

Komunitas pemberdayaan sebagaimana dipraktikkan Gerakan Ciliwung Merdeka pimpinan Sandyawan Sumardi merupakan salah satu contoh bagaimana menggugah kesadaran civil society pada segmennya yang paling fundamental. Lebih dari 2.000 anak dari 39 komunitas berhimpun mewakili ribuan lainnya yang terserak di jalan-jalan di berbagai kota yang menjadi korban gilasan pasar, birokrasi, dan kekerasan orang-orang dewasa. Mereka tidak bungkam. Mereka memekikkan hak-hak dan bernarasi tentang aneka pengalaman negatif, melalui tuturan, lukisan, dan pertunjukan. Itu sudah cukup nyaring untuk ruang publik politis, seandainya negara hukum berfungsi baik.

( Source : Kompas by F Budi Hardiman Pengajar Pascasarjana STF Driyarkara )



Tidak ada komentar: