Selasa, 30 Oktober 2007

Teater Ngampung di Kampung “Pinggiran"

Mempelajari teater bagi orang kampung “pinggiran” akan lebih mudah apabila diperoleh dengan pendidikan non formal. Karena dalam sistem pendidikan kita tidak banyak sekolah formal yang mengkhususkan diri di bidang teater, walaupun demikian hampir di setiap sekolah umum khususnya SMU sampai Perguruan Tinggi memiliki ekstra kurikuler teater. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah wadah itu sudah cukup menampung apresiasi teater bagi orang banyak? Apalagi bagi mereka yang tidak menempuh pendidikan formal/sekolah? Pertanyaan tersebut kiranya perlu dijawab oleh para penggerak teater yang selama ini terkesan eksklusif dan kurang tertarik dengan mereka yang tidak berada jalur formal.

Belajar dari Anak Wayang Indonesia (AWI) yang telah berkeliling ke beberapa negara atau Sanggar Anak Akar Jakarta (SAAJ) yang telah banyak mempresentasikan karyanya atau komunitas lain yang telah terlebih dulu maju, semua itu adalah hasil pendidikan non formal yang benar-benar nyata bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal.

Proses berteater dengan pola sanggar semacam AWI atau SAAJ merupakan sebuah proses panjang, karena tidak semua orang mau dan dapat melakukan pengorganisiran tersebut. Apalagi pesertanya anak-anak jalanan atau anak-anak kampung “pinggiran”. Proses ini memerlukan waktu dan berbagai siasat agar berjalan mulus tanpa mengganggu kehidupan “ngampung” mereka yang “labil” dan penuh dengan warna. Teater terkadang “provokatif” sehingga harus pandai-pandai membumikan, apabila teater mampu beradaptasi maka proses tersebut akan menjadi ritme yang menarik tentunya dapat menjadikan kehidupan kampung lebih seronok.

Sesungguhnya kalau kita memasuki kehidupan kampung “pinggiran” di Jogja seperti; Kricak, Sidomulyo, Badran atau Tungkak tidak ada yang dapat kita lakukan dengan teater karena kehidupan mereka sudah sangat teatrikal, “cobalah anda baca naskah-naskah Bambang Widoyo SP dalam “Gapit, 4 naskah drama berbahasa jawa” anda akan betul-betul menemukan teater yang sesungguhnya di kampung “pinggiran” tersebut. Sehingga diperlukan cara dan inisiatif bahkan siasat yang jitu untuk menjadikan kehidupan teater mereka yang sesungguhnya itu dapat dipolakan dalam panggung dan menjadi pertunjukan yang seolah-lah merepresentasikan kehidupan kampung.

Sesuai dengan latar belakang kehidupan kampung “pinggiran”, maka nuansa “kampungan” merupakan pola yang tepat untuk memulai proses. Gaya “kampungan” adalah gaya hidup yang fleksibel tidak dapat dipaksakan namun demikian dapat ditata secara bertahap. Belajar secara non formal tidak menjadikan orang kampung jauh dari kebiasaan mereka yang serba improve sehingga gaya aktor/aktris kampung yang telah ada dalam setiap individu tinggal memoles.

Orang kampung “pinggiran” tidak banyak tahu tentang teater yang sesungguhnya, walaupun sering mendengar atau pernah melihat. Selama ini mereka mengenal teater hanya sebatas kulit tanpa tahu isinya, mereka hanya tahu bahwa teater itu sandiwara atau drama yang dapat menghibur baik dari segi cerita ataupun penampilannya, atau pengetahuan mereka atas teater hanya sekedar sebuah cerita yang ditampilkan di panggung, baik cerita yang dapat menguras air mata merekam, memaki-maki karena amarah atau sebaliknya membuat mereka tertawa terpingkal – pingkal.

Namun banyak juga yang tidak tahu sama sekali apa itu teater! Agar mereka mengetahui teater, teater sendiri yang harus “ngampung” atau terjun langsung ke kampung, kembali keharibaan ibu buminya. Bukankah teater rakyat juga berasal dari mereka yang kepepet sehingga mengadakan ritual sebagai doa untuk mohon petunjuk agar panen melimpah atau supaya diberi kesehatan dan penolak bala hingga para pelaku katarsis dan akhirnya diteruskan dengan wujud teater syukur.

Teater atau kesenian adalah bagian integral dari sistem kemasyarakatan sehingga gaya yang akan timbul pasti tidak jauh dari keyakinan ideologis serta srtuktur masyarakatnya. Mengembalikan teater ke masyarakat kampung “pinggiran” adalah pelajaran tersendiri yang kaya dengan makna. Kolektifitas teater adalah kesatuan komponen yang harus berjalan seimbang. Raja tidak akan hidup tanpa rakyat, rakyat tidak akan terarah tanpa pemimpin dan Hidup tidak akan berjalan kalau tidak ada orang lain dan seterusnya. Demikianlah, kolektifitas teater memiliki makna yang kurang lebih sama dengan mekanisme hidup.

Sesungguhnya mengenalkan teater di kalangan orang “pinggiran” adalah untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri. Keberadaan mereka secara individu, sosial, kultural dan secara politis. Di setiap kampung memiliki gaya sendiri sebagai local genius aturan main yang tidak pernah baku namun selalu diacu. Teater dapat dijadikan kaca brenggala, sampai suatu saat mereka akan tahu dengan kondisi dirinya, mereka akan tahu jikalau orang kampung “pinggir” itu kreatif, survive dan pandai mensiasati hidup namun juga pemalas. Inilah bentuk resistensi mereka.

Bentuk seperti itulah yang harus kita upayakan tetap hidup dalam kampung “pinggiran”. Dengan kata lain kita tidak perlu mencari sesuatu yang tidak ada di kampung “pinggiran” walaupun sesekali perlu kita memperkenalkan hal-hal baru agar tak ketinggalan informasi. Kekayaan akan ide yang begitu luar biasa harus diolah melalui ketajaman intuisi atau bahkan melalui kejujuran/keluguan apa adanya.

Namun kita tidak perlu heran apabila suatu saat akan mengalami kejutan yang ditimbulkan dari sikap pemberontakan/penolakan dari orang kampung, misalnya penggunakan kalimat kasar/jorok atau adegan ‘saru’ yang tidak senonoh pasti akan mendapatkan kritikan tajam, walaupun sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak jauh dari semua itu. Namun mengapa ketika dipanggungkan hal itu justru ditentang? Kampung-kampung yang disebutkan diatas adalah kampung yang selama ini oleh warga Jogja dianggap kampung “preman” atau kampung ‘gali’. Sebutan itu terkadang membuat risih warga yang tinggal di sana karena dengan demikian mereka selalu berada dalam bayang-bayang gelap di setiap langkahnya. Hal ini menjadikan mereka dijauhi oleh banyak orang ketika identitasnya diketahui. Oleh karenanya mereka berupaya sedapat mungkin untuk menghapus citra atau menyembunyikan idetitas mereka dari khalayak umum. Maka apabila kreatifitas yang digarap merupakan serapan dari hal “buruk” yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya, maka sensor yang mereka lakukan adalah hal lumrah untuk kepentingan kenyamanan dalam penyamaran identitas. Disini teater telah memasuki wilayah “kesadaran” akan keberadaan dan identitas.

Hal itu wajar. Namun apabila dalih mereka adalah religiusitas islam, maka harus dimaknai lebih lanjut. Agar tidak terjadi friksi dalam masyarakat sendiri. Sesungguhnya pementasan adalah laku trasitif. Nilainya tidak terwujud dalam dirinya, tetapi termanifestasikan dalam dampaknya terhadap publik. Yang dipandang bukanlah pemain menyentuh atau memeluk, melainkan apakah sentuhan dan pelukan itu (ibu dan anaknya, suami dan istri, lelaki dan pacarnya) mempunyai dampak positif, netral atau negatif kepada penonton, yang dipandang bukanlah terbuka atau tertutup aurat artisnya namun lebih pada aktingnya menimbulkan hikmah atau fitnah. Yang diharapkan dapat dimengerti oleh penonton adalah bukan hanya melihat pemainnya namun apa yang dimainkan. Pemain hanya mengantar atau mengilustrasikan menuju alam imajinasi penonton. Yang pasti tidak semua yang masuk kriteria estetika dalam kesenian perlu dijadikan acuan kalau tidak sesuai dengan moral dan norma.

Kesadaran akan identitas, keberadaan dan eksistensi perlu dijaga melalui apa saja. Teater hanya mengantarkan kepada kita menuju ruang hampa agar pemahaman tentang kemarjinalan, ketertindasan dan kelemahan dan pelemahan dapat disadari. Bahwa mereka yang kurang beruntung juga tetap layak untuk mengetahui apa yang orang lain ketahui. Memberi penyadaran melalui proses teater non formal atau “mengampungkan” teater bukan hanya menambah pengetahuan mereka namun menumbuhkan percaya diri, mengajak mereka dalam mengorganisir diri, memperkuat jaringan dan yang lebih penting adalah menumbuhkan optimisme hidup ke depan agar resistensi mereka tetap terjaga. Akhirnya teater hanya sarana, pementasan bukan tujuan utama akan tetapi proses merupakan pementasan yang sesungguhnya.

( Source : M. Abdilah Yusuf , Penggiat teater,Relawan Yayasan Pondok Rakyat )




Tidak ada komentar: