Selasa, 30 Oktober 2007

Pendidikan Pinggiran

Seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah sekolah di pinggiran kota, tengah mengajar materi ejaan yang disempurnakan (EYD) kepada murid-muridnya. Sang guru menulis kalimat di papan tulis: “Mobil itu rusak banget.”
Salah seorang murid disuruh memperbaiki kalimat tersebut agar sesuai EYD. “Coba Udin, apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya agar menjadi benar?
“Dibawa ke bengkel, Bu!” Didi menjawab dengan tegas.

***

PENDIDIKAN kita buruk. Itulah sebuah kesimpulan yang umurnya mungkin sudah sama tua dengan saat di mana hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, 118 tahun silam, ditahbiskan sebagai Hardiknas. Entah mimpi buruk apa Ki Hajar di alam sana, menengok kenyataan bahwa setelah lebih seabad dia mangkat, anak-cucunya masih saja berkutat dengan urusan yang sama; gagap mengurus pendidikan.

Sulit memang mengurai benang kusut, yang kadar kekusutannya mungkin akan membuat siapa pun lebih memilih cara ringkas dengan membeli benang baru saja. Semua ingin pendidikan membaik. Tapi hendak dimulai dari mana? Pejabat-pejabat republik ini, akhirnya, memulai dari pendekatan uang. Anggaran pendidikan dipatok minimum 20 persen. Dana subsidi yang tadinya dipakai menambal selisih harga BBM dialihkan untuk bantuan ke sekolah-sekolah.

Toh, masalah tidak selesai. Uang, terbukti, bukan segala-galanya. Kreativitas bahkan lebih sering buntu ketika segala sesuatu termudahkan. Dana BOS yang langsung masuk ke rekening sekolah tak semuanya membawa manfaat. Malah cenderung mengundang masalah; ada yang saling curiga, ada pula yang nyata-nyata ngemplang uangnya. Setali tiga uang; pos APBD yang meningkat tajam di kolom pendidikan membuat banyak daerah kebingungan sendiri; ini uang mau diapakan?

Pejabat berkoar di koran-koran soal rencana perbaikan gedung-gedung sekolah, peningkatan honor guru dan pemutakhiran bahan ajar supaya anak-anak kita bisa memiliki kecerdasan sekaligus keterampilan yang lebih baik. Koar yang wajar karena memang dananya memadai. Buktinya? Tak semanis yang dibayangkan. Ekspose terakhir Disdik Kaltim, misalnya, menyebut ada seribu lebih gedung SD rusak di provinsi kaya ini. Seorang anggota dewan mengungkap fakta yang lebih menggelikan; ada gedung sekolah yang tak kunjung selesai dibangun selama 29 tahun. Mangkrak sejak 1978!

Memang, tidak semua yang mengemuka adalah cerita duka. Ada juga success story di mana anak-anak kita menang olimpiade Fisika, misalnya. Atau menjadi siswa teladan dalam program pertukaran pelajar. Tapi kisah-kisah keberhasilan itu hanya seperti percik cahaya di kegelapan, ketika kita disuguhi fakta lain bahwa lebih lima ribu anak-anak usia sekolah di Kaltim harus rela bengong di rumah, karena orangtuanya tak punya cukup uang membayar ongkos sekolah yang makin mahal – sementara pendidikan murah, apatah lagi pendidikan gratis, lebih sering hanya menjadi kibulan politik belaka.

Belakangan, pendidikan juga telah menjadi industri. Sekolah-sekolah pilihan berlabel premium, yang memang terbukti menjanjikan hasil lebih baik, mematok biaya super tinggi. Kelumrahan dari sebuah mekanisme pasar di mana prinsip “ada harga ada rupa” menjadi keniscayaan. Sedangkan sekolah-sekolah kelas ekonomi di pinggiran atau pelosok, dengan gedung-gedung tua yang hampir rubuh dan kurikulumnya yang dibuat massal, memaksa anak-anak bangsa ini menelan semua pelajaran ala kadarnya dari guru-guru “buangan” bergaji rendah, yang sehari-hari terlalu sibuk cari penghasilan tambahan – entah berdagang atau jadi tukang ojek, demi hidup keluarganya yang juga harus terus berlangsung.

Ketika waktu memaksa anak-anak itu meninggalkan bangku sekolah, bersaing dalam dunia kerja yang keras, mereka lebih sering tersingkir untuk alasan yang sulit dibantah; low skill. Maka, kisah wajib belajar, apakah 9 atau 12 tahun itu, kerap tak banyak mengubah hidup “orang-orang pinggiran” dalam pengertian pendidikannya terpinggirkan ini. Generasi pekerja kita akhirnya akan bernasib sama dengan guru-guru mereka di sekolah dulu; menjadi buruh bergaji rendah.

Di pasar kerja internasional, sebagian besar orang Indonesia masih harus mengisi kebutuhan tenaga kasar industri; kuli di perkebunan atau pembantu rumah tangga yang kerap teraniaya di kota. Kalaupun ada yang menjadi professional worker, bisa dipastikan, sejarah pendidikannya bukanlah dari kelas ekonomi tadi. Mereka kebanyakan lulusan pendidikan premium. Hanya peristiwa istimewa bin langka yang bisa membalik logika ini. Tukul, pria ndeso tapi mujur itu, adalah salah satu contohnya.

Pendidikan memang bukan sekadar soal gedung sekolah, guru-guru berpenghasilan cukup, atau juga metode ajar. Semua itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari itu; kultur belajar dan semangat maju. Masyarakat kita terlanjur terbiasa nonton hiburan di televisi, daripada membaca. Kadung gemar bertutur sehingga tak terbiasa menulis. Lebih banyak diajari cara menghapal daripada menalar. Sistem yang membuat semuanya jadi begini. Sistem juga yang mestinya diperbaiki.

***

Suatu hari, di sebuah ruang kelas, masih di sekolah yang sama di pinggiran kota.
Guru: Anak-anak, Indonesia terletak di antara dua samudra dan dua…?
Murid: Benuaaaa….!
Guru : Salah! Yang benar, Indonesia terletak di antara dua samudra dan… dua-duanya amatlah dalam…! ***

Source : Windede Dot Com

Tidak ada komentar: